29 Jan 2014

belajar dengan anak inklusi

Mengajar Di Sekolah Inklusi “SDN BAYEMGEDE II”
oleh :
anang riyadinanto, s.pd.SD
Mengajar di sekolah inklusi merupakan hal yang tak terpikirkan sama sekali dalam benak saya. Tapi justru hal yang tak terpikirkan itulah yang saya alami sekarang. Saat ini  saya bagaikan  nahkoda yang terus berlabuh tanpa peta dan haluan yang jelas. Meskipun bahasa kontra menerpa, saya coba tepis ombak dengan sentuhan kepedulian, dan kerelaan menerima.
Berprofesi sebagai guru sekolah inklusi bisa saja tak sengaja, bukan cita-cita. Tetapi kalau sudah kadung tercebur, mau tak mau setiap guru harus bisa beradaptasi dengan kondisi sekolah inklusi yang penuh dengan warna. Itulah yang sedang saya lakukan sekarang. Saya berusaha menyesuaikan diri dengan mempelajari berbagai metode mengajar yang terus berkembang sesuai dengan tuntutan zaman.  Bagi guru yang sudah lama  mengajar di sekolah inklusi mungkin hal itu menjadi hal yang biasa, tetapi bagi saya pribadi sebagai guru baru pada waktu itu, lain lagi ceritanya. Bayangkan kita harus mengajar siswa yang mengalami gangguan neurologis berat dengan berbagai macam gejala. Mulai dari gangguan komunikasi (baik verbal maupun non verbal), gangguan interaksi sosial, kelainan dalam perilaku, gangguan emosi, serta gangguan sensoris.
Tiap siswa berkebutuhan khusus mengalami gejala-gejala tersebut dalam tingkatan yang berbeda, dengan kata lain, karakter masing-masing individu berbeda. Rumitnya lagi, saya harus mengajar siswa-mereka bersamaan dengan siswa-siswa normal dalam satu kelas.. Salah seorang teman  pernah  “Saya Pusing dengan kondisi seperti ini!” Kepusingan teman saya sangat beralasan karena anak-anak berkebutuhan khusus relative memilki emosi yang tidak stabil sehingga tidak jarang menganggu stabilitas kelas.
 SD sudah mengikhlaskan diri untuk menerima siswa dengan kondisi apa pun, tanpa terkecuali. Keihklasan itulah yang membuat guru-guru,khususnya saya semakin termotivasi dan tertantang untuk memberikan layanan pendidikan terbaik bagi anak.
Mengajar siswa berkebutuhan khusus di SD inklusi ternyata tidak jauh berbeda dengan sekolah reguler. Hanya saja, dalam penggunaan metode mengajar, kita harus banyak berinovasi memberikan perhatian khusus untuk siswa berkebutuhan khusus. Misalnya saja saat membentuk kelompok, kita harus mendorong siswa berkebutuhan khusus untuk tetap terlibat, meski dalam bentuk yang sangat sederhana. Dalam memberi penilaian pun kita harus menggunakan standar yang berbeda dengan menghargai perkembangan mereka di beberapa aspek yang terkendala keterbatasan mereka. Ada kalanya pula kita harus bersikap tegas. Siswa ABK seringkali hiperaktif, tantrum (berteriak-teriak), dan berperilaku stereotipik (perilaku monoton dan berulang-ulang). Mereka juga tak jarang mengalami gangguan emosi lainnya, sensitif, mudah marah, dan bersikap histeris. Tatkala dihadapkan dengan perilaku seperti ini, selain telaten, kita juga dituntut untuk bersikap tegas sebagai upaya mendisiplinkan mereka.
Proses pembelajaran ABK membutuhkan kerjasama yang sinergis antara semua pihak yang terlibat di dalamnya, mulai dari guru, tutor (guru pendamping ABK), kepala sekolah, orangtua, dan sebagainya. Semua harus berkoordinasi untuk memberikan layanan pendidikan terbaik kepada mereka. Perhatian lebih yang kita berikan kepada ABK ternyata secara tidak langsung mampu meningkatkan kepedulian siswa normal lainnya kepada teman-temannya yang berkebutuhan khusus.
 Mengajar, bergaul, dan bergumul dengan anak-anak yang berkebutuhan khusus membuat profesi guru menjadi lebih bermakna. Adalah hal biasa menjadikan anak-anak berprestasi menjadi lebih berprestasi, tapi akan sangat luar biasa apabila kita mampu menjadikan anak-anak yang berkebutuhan khusus menjadi anak-anak yang sadar bahwa mereka pun mempunyai potensi yang luar biasa untuk senantiasa digali dan dilejitkan di masa yang akan datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar