10 Agu 2014
Info Pendaftaran CPNS 2014
Bagi yang berminat untuk mendaftarkan diri sebagai calon pegawai negeri sipil silaahkan kunjungi halaman ini
10 Feb 2014
Falsafah Pendidikan Inklusi
Falsafah Pendidikan Inklusi
- Pendidikan untuk semua
- Setiap anak berhak untuk mengakses dan mendapatkan fasilitas pendidikan yang layak
- Belajar hidup bersama dan bersosialisasi
- Setiap anak berhak untuk mendapatkan perhatian yang sama sebagai peserta didik
- Integrasi pada lingkungan
- Setiap anak berhak menyatu dengan lingkungannya dan menjalin kehidupan sosial yang harmonis Penerimaan terhadap perbedaan
- Setiap anak berhak dipandang sama dan tidak mendapatkan diskriminasi dalam pendidikan “Children who learn together.. learn to live together.” (Marsha Forest)
? Jenis Keterbatasan Anak
Permasalahan Fungsi Pikir
- Hambatan Kesukaran Belajar. Kesulitan memahami, mengingat, menghitung, membaca
- Hambatan Pemusatan Perhatian. Hiperaktif, perilakun yang tidak sesuai situasi, mencari perhatian, menyela pembicaraan, perilaku berlebihan
- Hambatan Berbicaran & Berkomunikasi. Gagap, kesalahan pengucapan, cedal, sulit menangkap percakapan
Permasalahan Fungsi Sosial dan Perilaku
- Hambatan Emosin & Perilaku. Suasana hati berubah cepat, agresif, memukul, berteriak, mengejek Autis. Minim kontak sosial, menyendiri, gerakan tak lazimn
? Jenis Keterbatasan Anak Keterlambatan Fungsi Pikir & Sosial
- Mental Retarded. IQ dibawah rerata, keterbatasann berkomunikasi, kompetensi akademis minim Anak Berbakat
- Gifted. Kreatif, suka mengganggu, mudah tidakn puas, eksplorasi luas Gangguan Fisik & Indera
- Gangguan penglihatan, gangguan pendengaran dann keterbatasan ganda (penglihatan dan pendengaran)
Keuntungan Program Inklusi Anak dengan Kebutuhan Khusus
Keuntungan Program Inklusi Anak dengan Kebutuhan Khusus
- Terhindar dari label negatif
- Anak memiliki rasa percaya diri
- Memiliki kesempatan menyesuaikan diri
- Anak memiliki kesiapan menghadapi kehidupan nyata
- Anak Tanpa Kebutuhan Khusus belajar mengenai keterbatasan tertentu
- Mengetahui keterbatasan/keunikan temannya
- Peduli terhadap keterbatasan temannya
- Dapat mengembangkan keterampilan sosial
- Berempati terhadap permasalah temannya
- Membantu temannya yang kesulitan
8 Feb 2014
Klasifikasi anak tunalaras
Klasifikasi anak tunalaras
1. anak
yang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial:
1. The
Semi-socialize child, anak yang termasuk dalam kelompok ini dapat
mengadakan hubungan sosial tetapi terbatas pada lingkungan tertentu. Misalnya:
keluarga dan kelompoknya. Keadaan seperti ini datang dari lingkungan yang
menganut norma-norma tersendiri, yang mana norma tersebut bertentangan dengan
norma yang berlaku di masyarakat. Dengan demikian anak selalu merasakan ada
suatu masalah dengan lingkungan di luar kelompoknya.
2. Children
arrested at a primitive level of socialization, anak pada kelompok ini
dalam perkembangan sosialnya, berhenti pada level atau tingkatan yang rendah.
Mereka adalah anak yang tidak pernah mendapat bimbingan kearah sikap sosial
yang benar dan terlantar dari pendidikan, sehingga ia melakukan apa saja yang
dikehendakinya. Hal ini disebabkan karena tidak adanya perhatian dari orang tua
yang mengakibatkan perilaku anak di kelompok ini cenderung dikuasai oleh
dorongan nafsu saja. Meskipun demikian mereka masih dapat memberikan respon
pada perlakuan yang ramah.
3. Children
with minimum socialization capacity, anak kelompok ini tidak mempunyai kemampuan
sama sekali untuk belajar sikap-sikap sosial. Ini disebabkan oleh
pembawaan/kelainan atau anak tidak pernah mengenal hubungan kasih sayang
sehingga anak pada golongan ini banyak bersikap apatis dan egois.
2. Anak
yang mengalami gangguan emosi, terdiri dari:
1. neurotic
behavior,
anak pada kelompok ini masih bisa bergaul dengan orang lain akan tetapi mereka
mempunyai masalah pribadi yang tidak mampu diselesaikannya. Mereka sering dan
mudah dihinggapi perasaan sakit
hati,
perasaan cemas, marah, agresif dan
perasaan bersalah. Di samping itu kadang mereka melakukan tindakan lain seperti mencuri dan
bermusuhan. Anak seperti ini biasanya dapat dibantu dengan terapi seorang konselor.
Keadaan neurotik ini biasanya disebabkan oleh sikap keluarga yang menolak atau
sebaliknya, terlalu memanjakan anak serta pengaruh pendidikan yaitu karena
kesalahan pengajaran atau juga adanya kesulitan belajar yang berat.
2. children
with psychotic processes, anak pada kelompok ini mengalami gangguan
yang paling berat sehingga memerlukan penanganan yang lebih khusus. Mereka
sudah menyimpang dari kehidupan yang nyata, sudah tidak memiliki kesadaran diri
serta tidak memiliki identitas diri. Adanya ketidaksadaran ini disebabkan oleh
gangguan pada sistem
syaraf sebagai akibat dari keracunan, misalnya minuman
kerasdan
obat-obatan
Perbedaan Tuna Grahita dan Autis
Perbedaan Tuna Grahita dan
Autis
Hati-hati
memberikan layanan pendidikan terhadap anak-anak yang sulit berkomunikasi.
Keliru pendekatan dan terapi sangat berisiko menghambat perkembangan
intelegensia anak.
Selama
ini, anak yang sulit berkomunikasi dan menahan emosi cenderung dicap
tunagrahita. Itu karena kurangnya
pemahaman utuh tentang apa yang disebut anak-anak berkebutuhan khusus.
“Bisa jadi, anak yang bergejala demikian
tergolong autisme. Antara autisme dan tunagrahita terdapat perbedaan mendasar
sehingga perlakuan yang diberikan pun harus berbeda,” ujar Mudjito, Direktur
Pendidikan Luar Biasa Depdiknas di sela-sela seminar “Memahami dan Mencari
Solusi Kesulitan Belajar pada Anak Autisme” di Depok, Jawa Barat, Sabtu (26/2).
Menurut Mudjito, autisme ialah anak yang
mengalami gangguan berkomunikasi dan berinteraksi sosial serta mengalami
gangguan sensoris, pola bermain, dan emosi. Penyebabnya karena antarjaringan
dan fungsi otak tidak sinkron. Ada yang maju pesat, sedangkan yang
lainnya biasa-biasa saja. Survei menunjukkan, anak-anak autisme lahir dari
ibu-ibu kalangan ekonomi menengah ke atas. Ketika dikandung, asupan gizi ke
ibunya tak seimbang.
Adapun tunagrahita adalah anak yang mengalami
hambatan dan keterbelakangan mental, jauh di bawah rata- rata. Gejalanya tak
hanya sulit berkomunikasi, tetapi juga sulit mengerjakan tugas-tugas akademik.
Ini karena perkembangan otak dan fungsi sarafnya tidak sempurna. Anak-anak
seperti ini lahir dari ibu kalangan menengah ke bawah. Ketika dikandung, asupan
gizi dan zat antibodi ke ibunya tidak mencukupi.
“Sepintas, anak-anak autis dan tunagrahita
memang sama-sama sulit berkomunikasi. Tetapi, dalam perkembangannya, pada
situasi tertentu anak-anak autis bisa lebih cerdas membahasakan sesuatu,
melebihi anak-anak normal seusianya,” tambah Mudjito.
Dalam seminar yang menampilkan drg Sri Utami
Soedarsono (Direktur Pelita Hati, Pusat Pendidikan untuk Anak Berkebutuhan
Khusus) serta Ery Soekresno Psi (konsultan anak berkebutuhan khusus) tersebut,
terungkap bahwa istilah autisme berasal dari kata autos yang berarti diri
sendiri dan isme yang berarti aliran. Autisme berarti suatu paham yang tertarik
hanya pada dunianya sendiri.
Penyebab autis sangat kompleks, tak lepas dari
faktor genetika dan lingkungan sosial. Awal Februari lalu, para ilmuwan yang
bertemu pada “Autism Summit” di California, Amerika Serikat (AS), sepakat bahwa
gejala autisme disebabkan oleh interaksi sejumlah gen dengan faktor-faktor
lingkungan yang belum teridentifikasi.
Mengutip International Herald Tribune (10/2),
Mudjito menguraikan, ditemukan sedikitnya dua indikasi autisme pada bayi baru
lahir. Pertama, zat putih pada otak-yang berisi serat-serat penghubung neuron
di wilayah terpisah dalam otak-berkembang hingga 9 bulan, kemudian berhenti.
Pada usia 2 tahun, zat putih ini ditemui secara berlebihan di lobes bagin
depan, cerebellum, dan wilayah asosiasi di mana terjadi pemrosesan tingkat
tinggi.
Kedua, lingkaran kepala bayi baru lahir lebih
kecil daripada rata-rata lingkaran kepala bayi baru lahir pada umumnya. Pada
usia 1-2 bulan, tiba-tiba otaknya tumbuh dengan pesat. Hal serupa terjadi pada
usia 6 bulan-2 tahun. Pertumbuhan ini lalu menurun pada usia 2-4 tahun. Ukuran
otak anak autis berusia 5 tahun lebih kurang sama dengan ukuran otak anak
normal berusia 13 tahun.
Beberapa teori lain juga mengungkapkan,
autisme juga dapat disebabkan oleh virus seperti rubella, toxo, herpes, jamur,
nutrisi buruk, perdarahan, dan keracunan makanan saat hamil. Hal itu menghambat
pertumbuhan sel otak pada bayi sehingga fungsi otak pada bayi yang dikandung
terganggu, terutama fungsi pemahaman, komunikasi, dan interaksi.
Terkait dengan nutrisi, Mudjito menunjuk pola
hidup pada masyarakat kota turut mendukung potensi lahirnya anak
autis. Misalnya, mengonsumsi makanan dan minuman tanpa pengendalian mutu,
termasuk makanan cepat saji. Bisa juga karena sayur dan buah yang dikonsumsi
mengandung zat pestisida.
Tak pelak, prevalensi (peluang terjadinya)
autisme sangat pesat. Tahun 1980-an, di AS, dari hanya 4-5 anak yang autis per
10.000 kelahiran naik menjadi 15-20 per 10.000 kelahiran pada tahun 1990-an.
Tahun 2000-an, sudah mencapai 60 per 10.000 kelahiran.
Belum ada data tentang prevalensi autisme
di Indonesia. Namun, mengingat pola hidup kurang sehat di negara maju pun
sudah merambah masyarakat kota-kota besar di Indonesia, fenomenanya
diyakini mirip AS. “Di sekolah- sekolah luar yang berada
di kota besar, tidak sulit menemukan anak autis. Di pedalaman, hampir
tidak ditemukan,” papar Mudjito.
Ia menghargai maraknya inisiatif lembaga
sosial di tiap kota yang membuka layanan pendidikan khusus bagi
autisme. Apalagi pola pendekatannya cenderung menyeluruh, termasuk aspek medis.
Hanyalah satu dari delapan jenis kelainan
gejala khusus yang menjadi sasaran layanan pendidikan khusus, yang kini
dikembangkan pemerintah dan masyarakat. Jenis-jenis kelainan lainnya mencakup
tunanetra (gangguan penglihatan), tunadaksa (kelainan pada alat gerak/tulang,
sendi, dan otot), tunagrahita (keterbelakangan mental), dan tunalaras
(bertingkah laku aneh).
Badan Pusat Statistik mencatat, saat ini
sekitar 1,5 juta anak di Indonesia yang mengalami kelainan seperti
itu. Namun, karena terbatasnya sarana pendidikan luar biasa, baru sekitar
50.000 anak yang mengenyam pendidikan. Sesuai Deklarasi Salamanca 1994 dan UU
Sistem Pendidikan Nasional, anak berkelainan khusus harus mendapatkan
pendidikan setara dengan anak-anak lainnya.
Oleh karena itu, pemerintah menggalakkan model
pendidikan inklusi, di mana sekolah umum bisa memberikan layanan pendidikan
terhadap anak berkebutuhan khusus, terpadu dengan siswa pada umumnya.
Sayangnya, pengadaan guru khusus untuk pendidikan layanan khusus masih sulit
dipenuhi. Tahun ini, dari 75.000 kuota pengangkatan pegawai negeri sipil untuk
guru, hanya 500 guru sekualifikasi itu yang terangkat. Padahal, secara nasional
masih dibutuhkan 1.500. Jika
secara totalitas anak berkebutuhan khusus saja sulit terlayani, apalagi anak
autis, yang selama ini cenderung dicap tunagrahita. (nasrullahnara) sumber:
kompas.
5 Feb 2014
Pendidikan Inklusi, Belajar dan berlatih

Pendidikan Inklusi, Belajar
dan berlatih
Bila menggunakan tari, musik dan drama, dan/atau seni rupa dan kerajinan, kita dapat menciptakan pengertian yang lebih baik, misalnya tentang konsep, kuantitas dan bilangan, atau peristiwa sejarah.
Dengan menggunakan ritme dan gerakan, dan/atau seni rupa dan kerajinan, kita dapat mengembangkan kekuatan dan kontrol yang lebih baik atas lengan, tangan dan jarinya. Latihan ini mungkin diperlukan untuk mempersiapkan anak belajar menulis.
Berikut ini adalah daftar bidang pemahaman dan keterampilan yang perlu diajarkan dan dilatihkan kepada anak. Bidang-bidang ini merupakan dasar bagi bidang-bidang pengetahun dan keterampilan lain dan akan memberikan suatu dasar untuk pembelajaran selanjutnya.
* Keterampilan dasar
o Perhatian dan kesadaran
o Konsentrasi – kesiagaan, perhatian –reaksi
o Meniru
o Keterampilan motorik
o Ingatan
* Keterampilan yang terkait dengan kemandirian dan swasembada
* Kemampuan untuk sadar akan perasaan dan mengembangkan kontrol atas perasaan, artinya mengungkapkan perasaan secukupnya, bukan menekan perasaan.
* Konsep:
o Ruang – arah – bentuk – jarak – ukuran
o Waktu
o Jumlah – bilangan
o Urutan – rangkaian
o Berat
o Tekstur – konsistensi – suhu
* Mengembangkan kemampuan untuk
o Mengamati
o Meniru
o Mematuhi peraturan
4 Feb 2014
Tuna Rungu
Tunarungu

Alat Audiometer merupakan alat untuk mengukur derajat kehilangan pendengaran dengan ukuran decibel (dB).
Perilaku yang muncul terhadap peserta didik dengan kelainan tunarungu wicara disekolah secara dominan berkaitan dengan hambatan dalam perkembangan bahasa dan komunikasi (Gregory, S.Et al, 1998:47-57), ciri-ciri umum antara lain sebagai berikut:
a. Kurang memperhatikan saat guru memberikan pelajaran di kelas.
b. Mempunyai kesulitan untuk mengikuti petunjuk secara lisan.
c. Keenganan untuk berpartisipasi secara oral, mereka mendapatkan kesulitan untuk berpartisipasi secara oral dan dimungkinkan karena hambatan pendengarannya.
d. Mempunyai kemampuan akademik yang rendah, khususnya dalam membaca.
(Hallahan & Kauffman, 1991: 232_274; Gearheart & Weishan, 1976:33-45; Kirk & Gallagher, 1989: 300-305).
3 Feb 2014
Tuna Grahita
Sellin
(1979) mengemukakan empat pendekatan dalam pengajaran bahasa kepada anak
tunagrahita, yaitu pendekatan sosiolinguistik, pendekatan psikolinguistik,
pendekatan behaviorisme, dan pendekatan etologi.
1. Pendekatan Sosiolinguistik
Penggunaan pendekatan sosiolinguistik dalam pengajaran bahasa bagi siswa tunagrahita dikembangkan oleh Adler (1971), dan dimaksudkan untuk menjembatani diskrepansi antara bahasa baku yang dipergunakan guru dengan bahasa non‑baku yang sering dijumpai pada siswa tunagrahita.
Sosiolinguis memandang fungsi bahasa terutama sebagai alat komunikasi sosial, yaitu pertukaran makna antaranggota sebuah masyarakat budaya. Penggunaan bahasa non‑baku seyogyanya dapat diterima selama hal itu sama efektifnya dalam menyampaikan maksud pembicara. Oleh karena itu, pengajaran bahasa seyogyanya lebih ditekankan pada pembinaan keterampilan berbahasa sebagai alat komunikasi sosial, tidak pada ketepatan pelafalan atau aksen tertentu ‑ sehingga guru seyogyanya bertoleransi terhadap omisi dan substitusi dalam ujaran.
Bahasa anak seyogyanya diases menurut empat elemennya:
(1) fonologi (bunyi, lafal)
(2) semantik (makna, definisi)
(3) sintaksis (susunan kata)
(4) morfologi (tata bentuk kata yang terkait dengan struktur kalimat seperti pembentukan kata jadian
Keempat elemen tersebut saling terkait dan sulit untuk dipisah‑pisahkan, tetapi penekanan terhadap satu elemen tertentu dapat dilakukan. Pendekatan sosiolinguistik lebih menekankan elemen simantik, dan guru diharapkan lebih memprioritaskan kejelasan ekspresi kognitif siswa.
Ini berarti bahwa guru seyogyanya memprioritaskan pembentukan perilaku bahasa siswanya yang dapat difahami dengan baik oleh lawan bicaranya, daripada memprioritaskan ketepatan lafal atau struktur kalimatnya. Misalnya, siswa dapat ditoleransi untuk mengatakan "ujan", "nggak", "udah", dsb.
2. Pendekatan Behaviorisme.
Para penganut faham behaviorisme memandang bahasa sebagai perilaku, yang dapat diperoleh melalui prosedur operant (Lynch & Brecker, 1972; Perozzi, 1972: Jeffery, 1973; Miller & Yoder, 1973; dalam Sellin (1979).
Lynch dan Brecker menggambarkan perolehan keterampilan berbahasa sebagai satu proses pengaruh lingkungan. Perolehan bahasa merupakan rangkaian linear dari bentuk yang primitif menuju bentuk yang semakin kompleks, yang didasarkan atas peristiwa-peristiwa pemicu (antecedent events). Peristiwa-peristiwa tersebut membentuk perkiraan-perkiraan baru (successive approximations) tentang keterampilan-keterampilan yang lebih kompleks yang diperlukan untuk memperoleh reinforcement yang lebih kompleks pula. Lynch dan Brecker juga berpendapat bahwa kesiapan atau kematangan turut mempengaruhi proses perolehan bahasa.
Perkembangan artikulasi, penggunaan kalimat negatif, penggunaan berbagai bentuk kata kerja, dan penggunaan kata-kata tanya muncul sesuai dengan urutan tertentu dalam masa perkembangan anak. Mereka mengemukakan bahwa hal tersebut berlaku pula bagi anak tunagrahita.
Perozzi sependapat bahwa bahasa mengandung aspek behavioristik dan aspek kematangan. Aspek kematangan memberikan indikator tentang kesiapan anak untuk belajar sesuatu yang lebih kompleks, dan aspek behavioristik memberikan kesadaran tentang perilaku bahasa tertentu yang harus dibentuk, dikondisikan, dan/atau diperoleh. Indikator kematangan tersebut mencakup: adanya tanda-tanda bahwa kesempatan untuk berbicara sudah muncul, adanya tanda-tanda munculnya perilaku tertentu secara teratur, dan munculnya tanda-tanda tentang adanya kesempatan untuk berlatih bila terdapat kondisi penguatnya.
Spadlin (1963, dalam Sellin, 1979) mencoba menerjemahkan konsep-konsep Skinner ke dalam prosedur asesmen perilaku bahasa. Dia mengemukakan empat perilaku utama, yaitu: echoic (mengulang kata atau kata-kata yang didengar - pada intinya perilaku meniru); mark (belajar meminta suatu benda atau bantuan); intraverbal (merespon terhadap pertanyaan-pertanyaan mengenai perasaan atau kesukaan); dan tact (menyebut nama benda atau menggambarkan fungsi benda).
Jeffery mengemukakan bahwa pengkondisian seorang anak tunagrahita berat untuk meningkatkan respon intraverbal dapat dilakukan melalui reinforcement sosial yang positif.
Miller dan Yoder menganjurkan bahwa isi latihan bahasa untuk anak tunagrahita dan pembentukan perilakunya harus mengikuti urutan yang sama dengan anak normal.
Pembentukan ekspresi verbal, misalnya, harus mengikuti urutan sebagai berikut:
1) Istilah-istilah relasional (ya, tidak, sudah, belum, dsb.);
2) Kata-kata tunggal;
3) Frasa predikat-obyek (buka pintu, baca buku);
4) Frasa subyek-obyek (Ibu guru, Ayah dokter);
5) Frasa subyek-predikat (guru membaca, Budi duduk); dan
6) Kalimat subyek-predikat-obyek (Ayah membaca buku).
Miller dan Yoder menganjurkan empat prinsip pengajaran bahasa:
1) Guru menciptakan alasan, motif, atau kebutuhan anak untuk berkomunikasi;
2) Anak memahami makna kata sebelum melafalkannya;
3) Hadapkan anak dengan pengalaman langsung; dan
4) Gunakan reinforcement, peniruan, dan modeling.
3. Pendekatan Psikolinguistik
Dengan menekankan pentingnya kesiapan/kematangan, pengaruh lingkungan, dan intervensi guru, pendekatan psikolinguistik ini memiliki kesamaan dengan prinsip sosiolinguistik dan prosedur operant, tetapi terdapat perbedaan dalam asumsi tentang hakikat bahasa, asesmennya, dan metode pelatihannya.
Pembahasan mengenai pendekatan psikolinguistik tidak dapat dipisahkan dari pembahasan tentang Illinois Test of Psycholinguistic Abilities (ITPA), yang dikembangkan oleh Kirk dan McCarthy (1961).
ITPA dimaksudkan untuk menciptakan instrumen yang dapat membedakan berbagai tingkat kemampuan dalam kinerja bahasa (language performance), sehingga dapat menampilkan profil tentang bidang-bidang kekuatan siswa dan peningkatan hasil belajarnya dalam bidang-bidang itu, sehingga prosedur pelatihan yang spesifik dapat diimplementasikan terhadap bidang-bidang yang masih bermasalah. Para ahli sepakat dengan maksud tersebut, tetapi sejumlah ahli masih mempertanyakan validitas instrumen pengukuran dan prosedur treatment-nya (Sellin, 1979).
ITPA terdiri dari beberapa subtes yang didesain untuk mengukur tiga fungsi utama penggunaan bahasa, yaitu:
1) saluran bahasa (auditori, visual, vokal);
2) proses (decoding/reseptif, encoding/ekspresif, asosiatif/informatif); dan
3) tingkat keberfungsian (bermakna dan konvensional serta representasional versus tingkat otomatis - sekuensial yang mencakup hafalan otomatis data tak bermakna).
Bateman dan Wetherell (1965) menyimpulkan bahwa karakteristik siswa tunagrahita yang terungkap oleh ITPA adalah:
- Relatif lebih baik dalam tingkat kemampuan representasional daripada tingkat kemampuan otomatis/sekuensial;
- Lebih baik dalam saluran visual-motor daripada auditori-vokal;
- Tidak ada perbedaan antara populasi daerah perkotaan dan pedesaan;
- Dapat dipergunakan untuk populasi MA tiga hingga sembilan tahun.
Pengajaran bahasa berdasarkan ITPA, yang terkait dengan saluran, tingkat keberfungsian dan/atau proses bahasa, telah dikaji oleh Hammill dan Larson (1974), Minskoff (1975) dan Newcomer, Larson, dan Hammill (1975).
Hammill dan Larson mengkaji BERBAGAI literatur mengenai pelatihan bahasa dengan ITPA, yang mencakup 15 hasil studi terhadap populasi tunagrahita dan 18 studi terhadap populasi kurang mampu. Mereka menyimpulkan bahwa ke-33 studi tersebut gagal menunjukkan peningkatan pada kelompok eksperimental. Hal tersebut diakibatkan oleh karena treatment yang kurang spesifik, rendahnya reliabilitas skor ITPA, yang berarti bahwa error dalam pengukuran mencegah terungkapnya kemajuan yang diperoleh, dan tidak aplikatifnya psikolinguistik.
Minskoff menyarankan agar pengajaran bahasa berdasarkan ITPA tetap dipertahankan, dengan memperbaiki bagian-bagian tertentu dalam pedoman penggunaannya, yang mencakup:
- Tujuan remediasi harus sesuai dengan gejala perilaku siswa, sesuai dengan tingkat kematangannya, dan diarahkan pada kecacatannya.
- Materi pengajaran harus terurut, disesuaikan dengan tingkat kecepatan belajar siswa, dipergunakan oleh guru yang dipersiapkan khusus untuk itu, dan dapat direstrukturisasi jika penguasaan siswa tidak segera tampak.
- Harus tersedia cukup waktu untuk pelatihan/pengajaran, mendeskripsikan preskripsi dan prosedur, dan tersedia layanan bagi siswa sesudah program remediasi selesai;
- Harus terdapat kecocokan antara prosedur tes dan pelatihan.
Akan tetapi, Newcomer et al. (1975) tidak sependapat dengan Minskoff yang memberikan dukungan terhadap pelatihan bahasa berdasarkan ITPA itu. Mereka menyimpulkan bahwa ITPA gagal menunjukkan peningkatan kemampuan berbahasa. Mereka menyarankan agar guru tetap bersikap skeptis terhadap ITPA.
Oleh karena itu, Sellin (1979) menyimpulkan bahwa untuk saat ini keberhasilan pengajaran bahasa bagi siswa tunagrahita yang didasarkan pada ITPA masih merupakan janji yang memerlukan penelitian dan pengembangan lebih lanjut.
4. Pendekatan Etologi (Ethological Approach)
Mahoney (1975) dan Sailor, Guess, dan Baer (1973), dll., mengusulkan pendekatgan etologi untuk penelitian dan treatment bagi gangguan bahasa. Pada dasarnya, pendekatan ini menggabungkan ketiga pendekatan di atas, karena perolehan bahasa dipandang sebagai produk interaksi.
Pendekatan etologi memandang perolehan keterampilan komunikasi sebagai sinkronisasi antara dua sistem, yaitu sistem individu anak itu sendiri, dan sistem individu dewasa yang mengasuhnya.
Kajian yang dilakukan oleh Buralnick (1972) dan Snyder, Loviit, dan Smith (1975) memberikan optimisme sehubungan dengan pengajaran bahasa bagi anak tunagrahita berat dan mendukung pendekatan etologi. Prosedur pelatihan untuk kelompok anak ini menekankan pembentukan respon sebelum produksi bahasa, penggunaan penguat (reinforcer), dan upaya transfer keterampilan.
Menurut Mahoney, yang efektif untuk merangsang timbulnya respon dari seseorang adalah peristiwa-peristiwa yang berpengaruh terhadap perilaku orang tersebut. Oleh karena itu, guru dituntut untuk mempelajari terlebih dahulu untuk mempelajari pengalaman yang mengesankan bagi anak sebelum mulai mengajar. Keuntungan dari pandangan ini adalah bahwa orang dewasa turut dituntut untuk belajar berkomunikasi dengan anak, sehingga tanggung jawab untuk belajar itu tidak dibebankan semata-mata pada diri anak.
Pada umumnya, penelitian berfokus pada kegagalan anak tunagrahita, ketidakmampuannya untuk belajar, dan/atau inefisiensi programnya (Sellin, 1979). Etologi berupaya membalik pola tersebut, dan menekankan bahwa orang dewasa bertanggung jawab untuk merancang program yang efektif.
Program yang didesain oleh Sailor et al. mengilustrasikan struktur dan isi pelatihan bahasa yang menggunakan pendekatan etologi. Struktur program tersebut difokuskan pada empat elemen: reference, control, self‑extended control, dan integration.
Referensi adalah upaya menciptakan peristiwa yang menuntut respon dari anak, seperti reaksi terhadap arahan, suruhan, isyarat, dsb.
Kontrol adalah tuntutan belajar perilaku tertentu yang terkandung di dalam bentuk-bentuk bahasa yang diajarkan.
Self‑extended control adalah tuntutan agar anak belajar keterampilan self‑management. Secara spesifik, anak harus belajar mencari sendiri informasi bila dihadapkan dengan kurangnya informasi ‑ apa, di mana, bagaimana, dsb. Integrasi adalah penggabungan ketiga kegiatan tersebut.
Isi program ini mencakup urutan enam fase, yaitu:
(1) orang dan benda,
(2) tindakan terhadap orang dan benda,
(3) barang-barang milik sendiri,
(4) warna,
(5) ukuran besar, dan
(6) hubungan kekerabatan.
Keempat elemen struktur di atas harus diterapkan pada masing-masing fase tersebut.
Format dasar pembelajarannya adalah:
1) Keterampilan reseptif sebelum keterampilan ekspresif;
2) Peristiwa merangsang timbulnya respon; dan
3) Respon harus berupa akibat yang positif.
1. Pendekatan Sosiolinguistik
Penggunaan pendekatan sosiolinguistik dalam pengajaran bahasa bagi siswa tunagrahita dikembangkan oleh Adler (1971), dan dimaksudkan untuk menjembatani diskrepansi antara bahasa baku yang dipergunakan guru dengan bahasa non‑baku yang sering dijumpai pada siswa tunagrahita.
Sosiolinguis memandang fungsi bahasa terutama sebagai alat komunikasi sosial, yaitu pertukaran makna antaranggota sebuah masyarakat budaya. Penggunaan bahasa non‑baku seyogyanya dapat diterima selama hal itu sama efektifnya dalam menyampaikan maksud pembicara. Oleh karena itu, pengajaran bahasa seyogyanya lebih ditekankan pada pembinaan keterampilan berbahasa sebagai alat komunikasi sosial, tidak pada ketepatan pelafalan atau aksen tertentu ‑ sehingga guru seyogyanya bertoleransi terhadap omisi dan substitusi dalam ujaran.
Bahasa anak seyogyanya diases menurut empat elemennya:
(1) fonologi (bunyi, lafal)
(2) semantik (makna, definisi)
(3) sintaksis (susunan kata)
(4) morfologi (tata bentuk kata yang terkait dengan struktur kalimat seperti pembentukan kata jadian
Keempat elemen tersebut saling terkait dan sulit untuk dipisah‑pisahkan, tetapi penekanan terhadap satu elemen tertentu dapat dilakukan. Pendekatan sosiolinguistik lebih menekankan elemen simantik, dan guru diharapkan lebih memprioritaskan kejelasan ekspresi kognitif siswa.
Ini berarti bahwa guru seyogyanya memprioritaskan pembentukan perilaku bahasa siswanya yang dapat difahami dengan baik oleh lawan bicaranya, daripada memprioritaskan ketepatan lafal atau struktur kalimatnya. Misalnya, siswa dapat ditoleransi untuk mengatakan "ujan", "nggak", "udah", dsb.
2. Pendekatan Behaviorisme.
Para penganut faham behaviorisme memandang bahasa sebagai perilaku, yang dapat diperoleh melalui prosedur operant (Lynch & Brecker, 1972; Perozzi, 1972: Jeffery, 1973; Miller & Yoder, 1973; dalam Sellin (1979).
Lynch dan Brecker menggambarkan perolehan keterampilan berbahasa sebagai satu proses pengaruh lingkungan. Perolehan bahasa merupakan rangkaian linear dari bentuk yang primitif menuju bentuk yang semakin kompleks, yang didasarkan atas peristiwa-peristiwa pemicu (antecedent events). Peristiwa-peristiwa tersebut membentuk perkiraan-perkiraan baru (successive approximations) tentang keterampilan-keterampilan yang lebih kompleks yang diperlukan untuk memperoleh reinforcement yang lebih kompleks pula. Lynch dan Brecker juga berpendapat bahwa kesiapan atau kematangan turut mempengaruhi proses perolehan bahasa.
Perkembangan artikulasi, penggunaan kalimat negatif, penggunaan berbagai bentuk kata kerja, dan penggunaan kata-kata tanya muncul sesuai dengan urutan tertentu dalam masa perkembangan anak. Mereka mengemukakan bahwa hal tersebut berlaku pula bagi anak tunagrahita.
Perozzi sependapat bahwa bahasa mengandung aspek behavioristik dan aspek kematangan. Aspek kematangan memberikan indikator tentang kesiapan anak untuk belajar sesuatu yang lebih kompleks, dan aspek behavioristik memberikan kesadaran tentang perilaku bahasa tertentu yang harus dibentuk, dikondisikan, dan/atau diperoleh. Indikator kematangan tersebut mencakup: adanya tanda-tanda bahwa kesempatan untuk berbicara sudah muncul, adanya tanda-tanda munculnya perilaku tertentu secara teratur, dan munculnya tanda-tanda tentang adanya kesempatan untuk berlatih bila terdapat kondisi penguatnya.
Spadlin (1963, dalam Sellin, 1979) mencoba menerjemahkan konsep-konsep Skinner ke dalam prosedur asesmen perilaku bahasa. Dia mengemukakan empat perilaku utama, yaitu: echoic (mengulang kata atau kata-kata yang didengar - pada intinya perilaku meniru); mark (belajar meminta suatu benda atau bantuan); intraverbal (merespon terhadap pertanyaan-pertanyaan mengenai perasaan atau kesukaan); dan tact (menyebut nama benda atau menggambarkan fungsi benda).
Jeffery mengemukakan bahwa pengkondisian seorang anak tunagrahita berat untuk meningkatkan respon intraverbal dapat dilakukan melalui reinforcement sosial yang positif.
Miller dan Yoder menganjurkan bahwa isi latihan bahasa untuk anak tunagrahita dan pembentukan perilakunya harus mengikuti urutan yang sama dengan anak normal.
Pembentukan ekspresi verbal, misalnya, harus mengikuti urutan sebagai berikut:
1) Istilah-istilah relasional (ya, tidak, sudah, belum, dsb.);
2) Kata-kata tunggal;
3) Frasa predikat-obyek (buka pintu, baca buku);
4) Frasa subyek-obyek (Ibu guru, Ayah dokter);
5) Frasa subyek-predikat (guru membaca, Budi duduk); dan
6) Kalimat subyek-predikat-obyek (Ayah membaca buku).
Miller dan Yoder menganjurkan empat prinsip pengajaran bahasa:
1) Guru menciptakan alasan, motif, atau kebutuhan anak untuk berkomunikasi;
2) Anak memahami makna kata sebelum melafalkannya;
3) Hadapkan anak dengan pengalaman langsung; dan
4) Gunakan reinforcement, peniruan, dan modeling.
3. Pendekatan Psikolinguistik
Dengan menekankan pentingnya kesiapan/kematangan, pengaruh lingkungan, dan intervensi guru, pendekatan psikolinguistik ini memiliki kesamaan dengan prinsip sosiolinguistik dan prosedur operant, tetapi terdapat perbedaan dalam asumsi tentang hakikat bahasa, asesmennya, dan metode pelatihannya.
Pembahasan mengenai pendekatan psikolinguistik tidak dapat dipisahkan dari pembahasan tentang Illinois Test of Psycholinguistic Abilities (ITPA), yang dikembangkan oleh Kirk dan McCarthy (1961).
ITPA dimaksudkan untuk menciptakan instrumen yang dapat membedakan berbagai tingkat kemampuan dalam kinerja bahasa (language performance), sehingga dapat menampilkan profil tentang bidang-bidang kekuatan siswa dan peningkatan hasil belajarnya dalam bidang-bidang itu, sehingga prosedur pelatihan yang spesifik dapat diimplementasikan terhadap bidang-bidang yang masih bermasalah. Para ahli sepakat dengan maksud tersebut, tetapi sejumlah ahli masih mempertanyakan validitas instrumen pengukuran dan prosedur treatment-nya (Sellin, 1979).
ITPA terdiri dari beberapa subtes yang didesain untuk mengukur tiga fungsi utama penggunaan bahasa, yaitu:
1) saluran bahasa (auditori, visual, vokal);
2) proses (decoding/reseptif, encoding/ekspresif, asosiatif/informatif); dan
3) tingkat keberfungsian (bermakna dan konvensional serta representasional versus tingkat otomatis - sekuensial yang mencakup hafalan otomatis data tak bermakna).
Bateman dan Wetherell (1965) menyimpulkan bahwa karakteristik siswa tunagrahita yang terungkap oleh ITPA adalah:
- Relatif lebih baik dalam tingkat kemampuan representasional daripada tingkat kemampuan otomatis/sekuensial;
- Lebih baik dalam saluran visual-motor daripada auditori-vokal;
- Tidak ada perbedaan antara populasi daerah perkotaan dan pedesaan;
- Dapat dipergunakan untuk populasi MA tiga hingga sembilan tahun.
Pengajaran bahasa berdasarkan ITPA, yang terkait dengan saluran, tingkat keberfungsian dan/atau proses bahasa, telah dikaji oleh Hammill dan Larson (1974), Minskoff (1975) dan Newcomer, Larson, dan Hammill (1975).
Hammill dan Larson mengkaji BERBAGAI literatur mengenai pelatihan bahasa dengan ITPA, yang mencakup 15 hasil studi terhadap populasi tunagrahita dan 18 studi terhadap populasi kurang mampu. Mereka menyimpulkan bahwa ke-33 studi tersebut gagal menunjukkan peningkatan pada kelompok eksperimental. Hal tersebut diakibatkan oleh karena treatment yang kurang spesifik, rendahnya reliabilitas skor ITPA, yang berarti bahwa error dalam pengukuran mencegah terungkapnya kemajuan yang diperoleh, dan tidak aplikatifnya psikolinguistik.
Minskoff menyarankan agar pengajaran bahasa berdasarkan ITPA tetap dipertahankan, dengan memperbaiki bagian-bagian tertentu dalam pedoman penggunaannya, yang mencakup:
- Tujuan remediasi harus sesuai dengan gejala perilaku siswa, sesuai dengan tingkat kematangannya, dan diarahkan pada kecacatannya.
- Materi pengajaran harus terurut, disesuaikan dengan tingkat kecepatan belajar siswa, dipergunakan oleh guru yang dipersiapkan khusus untuk itu, dan dapat direstrukturisasi jika penguasaan siswa tidak segera tampak.
- Harus tersedia cukup waktu untuk pelatihan/pengajaran, mendeskripsikan preskripsi dan prosedur, dan tersedia layanan bagi siswa sesudah program remediasi selesai;
- Harus terdapat kecocokan antara prosedur tes dan pelatihan.
Akan tetapi, Newcomer et al. (1975) tidak sependapat dengan Minskoff yang memberikan dukungan terhadap pelatihan bahasa berdasarkan ITPA itu. Mereka menyimpulkan bahwa ITPA gagal menunjukkan peningkatan kemampuan berbahasa. Mereka menyarankan agar guru tetap bersikap skeptis terhadap ITPA.
Oleh karena itu, Sellin (1979) menyimpulkan bahwa untuk saat ini keberhasilan pengajaran bahasa bagi siswa tunagrahita yang didasarkan pada ITPA masih merupakan janji yang memerlukan penelitian dan pengembangan lebih lanjut.
4. Pendekatan Etologi (Ethological Approach)
Mahoney (1975) dan Sailor, Guess, dan Baer (1973), dll., mengusulkan pendekatgan etologi untuk penelitian dan treatment bagi gangguan bahasa. Pada dasarnya, pendekatan ini menggabungkan ketiga pendekatan di atas, karena perolehan bahasa dipandang sebagai produk interaksi.
Pendekatan etologi memandang perolehan keterampilan komunikasi sebagai sinkronisasi antara dua sistem, yaitu sistem individu anak itu sendiri, dan sistem individu dewasa yang mengasuhnya.
Kajian yang dilakukan oleh Buralnick (1972) dan Snyder, Loviit, dan Smith (1975) memberikan optimisme sehubungan dengan pengajaran bahasa bagi anak tunagrahita berat dan mendukung pendekatan etologi. Prosedur pelatihan untuk kelompok anak ini menekankan pembentukan respon sebelum produksi bahasa, penggunaan penguat (reinforcer), dan upaya transfer keterampilan.
Menurut Mahoney, yang efektif untuk merangsang timbulnya respon dari seseorang adalah peristiwa-peristiwa yang berpengaruh terhadap perilaku orang tersebut. Oleh karena itu, guru dituntut untuk mempelajari terlebih dahulu untuk mempelajari pengalaman yang mengesankan bagi anak sebelum mulai mengajar. Keuntungan dari pandangan ini adalah bahwa orang dewasa turut dituntut untuk belajar berkomunikasi dengan anak, sehingga tanggung jawab untuk belajar itu tidak dibebankan semata-mata pada diri anak.
Pada umumnya, penelitian berfokus pada kegagalan anak tunagrahita, ketidakmampuannya untuk belajar, dan/atau inefisiensi programnya (Sellin, 1979). Etologi berupaya membalik pola tersebut, dan menekankan bahwa orang dewasa bertanggung jawab untuk merancang program yang efektif.
Program yang didesain oleh Sailor et al. mengilustrasikan struktur dan isi pelatihan bahasa yang menggunakan pendekatan etologi. Struktur program tersebut difokuskan pada empat elemen: reference, control, self‑extended control, dan integration.
Referensi adalah upaya menciptakan peristiwa yang menuntut respon dari anak, seperti reaksi terhadap arahan, suruhan, isyarat, dsb.
Kontrol adalah tuntutan belajar perilaku tertentu yang terkandung di dalam bentuk-bentuk bahasa yang diajarkan.
Self‑extended control adalah tuntutan agar anak belajar keterampilan self‑management. Secara spesifik, anak harus belajar mencari sendiri informasi bila dihadapkan dengan kurangnya informasi ‑ apa, di mana, bagaimana, dsb. Integrasi adalah penggabungan ketiga kegiatan tersebut.
Isi program ini mencakup urutan enam fase, yaitu:
(1) orang dan benda,
(2) tindakan terhadap orang dan benda,
(3) barang-barang milik sendiri,
(4) warna,
(5) ukuran besar, dan
(6) hubungan kekerabatan.
Keempat elemen struktur di atas harus diterapkan pada masing-masing fase tersebut.
Format dasar pembelajarannya adalah:
1) Keterampilan reseptif sebelum keterampilan ekspresif;
2) Peristiwa merangsang timbulnya respon; dan
3) Respon harus berupa akibat yang positif.
2 Feb 2014
Anak Hiper Aktif
Kesulitan Menulis Pada Anak
ADHD / HIPER
AKTIF
Anak-anak dengan ADHD
(Attention Deficit Hyperactivity Disorder)
atau hiperaktif cenderung bermasalah dengan tulisan seperti kesulitan mengeja
dan memiliki tata bahasa yang buruk dibandingkan teman-temannya. Kesulitan ini
dijumpai pada anak laki dan anak perempuan dengan ADHD.
"Gangguan menulis sering diabaikan. Padahal menulis adalah keterampilan penting yang diperlukan untuk keberhasilan akademis, sosial dan kesejahteraan perilaku. Jika masalah ini tidak dideteksi sejak dini pada anak-anak dengan ADHD, mereka dapat menderita ketika menjadi dewasa," ujar peneliti Dr. Slavica Katusic dari Mayo Clinic di Rochester, Minnesota seperti dilansir Reuters, Rabu (24/8/2011).
Masalah menulis jauh lebih umum pada anak laki-laki dan perempuan dengan ADHD. Hampir dua pertiga anak laki-laki dengan ADHD bermasalah dengan tulis menulis, dibandingkan dengan satu dari enam anak laki-laki tanpa ADHD.
Pada anak perempuan, 57 persen anak dengan ADHD bermasalah dengan tulis-menulis. Sangat mencolok jika dibandingkan dengan kurang dari 10 persen pada anak perempuan tanpa ADHD. Anak perempuan dengan ADHD hampir sepuluh kali lebih mungkin memiliki kombinasi gangguan menulis dan membaca dibandingkan dengan anak perempuan tanpa ADHD.
Masalah memori dan perencanaan pada anak-anak dengan ADHD dapat mempengaruhi proses penulisan, mungkin karena ADHD berkaitan dengan gangguan belajar di masa lalu.
Annette Majnemer telah mempelajari tulisan tangan pada anak-anak dengan ADHD di McGill University di Montreal, Kanada. Ia mengatakan bahwa banyak anak-anak dengan gangguan ADHD tampaknya mengalami kesulitan dengan komponen menulis.
"Mungkin disebabkan fakta bahwa mereka mudah lalai, terganggu perhatiannya dan hiperaktif. Dalam hal ini, keterampilan motorik dan masalah koordinasi lah yang dapat disalahkan," kata Majnemer.
Sementara Katusic menambahkan bahwa masalah genetik mungkin berada di balik ADHD dan beberapa masalah menulis. Tetapi secara umum, sulit diketahui bagaimana persisnya ADHD berkaitan dengan gangguan menulis dan membaca.
"Bila orangtua melihat sesuatu atau mendengar dari guru, maka anak harus mendapat penanganan tidak hanya untuk ADHD-nya, tetapi harus diuji juga apakah mereka memiliki masalah belajar lainnya. Dokter dan guru harus menekankan bahwa pengujian dilakukan untuk semuanya pada setiap jenis ketidakmampuan belajar. Itu harus dideteksi dini dan pengobatan harus dimulai sejak dini," kata " jelas Katusic.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) di AS mencatat hampir 10% anak-anak berusia 4-17 tahun di AS pernah didiagnosis dengan ADHD. Jumlah ini telah mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir.
Penelitian yang dilakukan Katusic melibatkan 6.000 anak-anak yang lahir di Rochester antara tahun 1976 dan 1982 dan masih tinggal di sana sampai berusia 5 tahun. Katusic dan rekan-rekannya melacak catatan sekolah, les dan medis untuk melihat tanda-tanda ADHD serta kemampuan si anak dalam hal menulis, membaca dan tes kecerdasan umum melalui sekolah tinggi.
Secara total, 379 anak-anak diketahui memenuhi kriteria ADHD dan lebih sering ditemui pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Dari semua anak-anak dalam penelitian, lebih dari 800 anak mendapat nilai buruk pada tes kemampuan menulis. Sebagian besar anak yang mengalami kesulitan menulis juga mengalami kesulitan membaca.
"Gangguan menulis sering diabaikan. Padahal menulis adalah keterampilan penting yang diperlukan untuk keberhasilan akademis, sosial dan kesejahteraan perilaku. Jika masalah ini tidak dideteksi sejak dini pada anak-anak dengan ADHD, mereka dapat menderita ketika menjadi dewasa," ujar peneliti Dr. Slavica Katusic dari Mayo Clinic di Rochester, Minnesota seperti dilansir Reuters, Rabu (24/8/2011).
Masalah menulis jauh lebih umum pada anak laki-laki dan perempuan dengan ADHD. Hampir dua pertiga anak laki-laki dengan ADHD bermasalah dengan tulis menulis, dibandingkan dengan satu dari enam anak laki-laki tanpa ADHD.
Pada anak perempuan, 57 persen anak dengan ADHD bermasalah dengan tulis-menulis. Sangat mencolok jika dibandingkan dengan kurang dari 10 persen pada anak perempuan tanpa ADHD. Anak perempuan dengan ADHD hampir sepuluh kali lebih mungkin memiliki kombinasi gangguan menulis dan membaca dibandingkan dengan anak perempuan tanpa ADHD.
Masalah memori dan perencanaan pada anak-anak dengan ADHD dapat mempengaruhi proses penulisan, mungkin karena ADHD berkaitan dengan gangguan belajar di masa lalu.
Annette Majnemer telah mempelajari tulisan tangan pada anak-anak dengan ADHD di McGill University di Montreal, Kanada. Ia mengatakan bahwa banyak anak-anak dengan gangguan ADHD tampaknya mengalami kesulitan dengan komponen menulis.
"Mungkin disebabkan fakta bahwa mereka mudah lalai, terganggu perhatiannya dan hiperaktif. Dalam hal ini, keterampilan motorik dan masalah koordinasi lah yang dapat disalahkan," kata Majnemer.
Sementara Katusic menambahkan bahwa masalah genetik mungkin berada di balik ADHD dan beberapa masalah menulis. Tetapi secara umum, sulit diketahui bagaimana persisnya ADHD berkaitan dengan gangguan menulis dan membaca.
"Bila orangtua melihat sesuatu atau mendengar dari guru, maka anak harus mendapat penanganan tidak hanya untuk ADHD-nya, tetapi harus diuji juga apakah mereka memiliki masalah belajar lainnya. Dokter dan guru harus menekankan bahwa pengujian dilakukan untuk semuanya pada setiap jenis ketidakmampuan belajar. Itu harus dideteksi dini dan pengobatan harus dimulai sejak dini," kata " jelas Katusic.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) di AS mencatat hampir 10% anak-anak berusia 4-17 tahun di AS pernah didiagnosis dengan ADHD. Jumlah ini telah mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir.
Penelitian yang dilakukan Katusic melibatkan 6.000 anak-anak yang lahir di Rochester antara tahun 1976 dan 1982 dan masih tinggal di sana sampai berusia 5 tahun. Katusic dan rekan-rekannya melacak catatan sekolah, les dan medis untuk melihat tanda-tanda ADHD serta kemampuan si anak dalam hal menulis, membaca dan tes kecerdasan umum melalui sekolah tinggi.
Secara total, 379 anak-anak diketahui memenuhi kriteria ADHD dan lebih sering ditemui pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Dari semua anak-anak dalam penelitian, lebih dari 800 anak mendapat nilai buruk pada tes kemampuan menulis. Sebagian besar anak yang mengalami kesulitan menulis juga mengalami kesulitan membaca.
Anak Autis
Deteksi Resiko Autis Bayi
dari Kemampuan Motorik Bayi 7 Bulan
Keterampilan motorik
bayi usia 7 bulan antara lain mampu menahan kepala, berguling, menggenggam dan
memainkan benda-benda kecil. Jika seusia tersebut keterampilan motorik bayi rendah,
bisa berisiko tinggi mengalami Autistic Spectrum Disorder (ASD) daripada
anak-anak di populasi umum.
Demikian temuan penelitian yang disajikan dalam Konferensi Perkembangan Anak British Psychological Society di Newcastle seperti dirilis dari ScienceDaily.
Penelitian ini dilakukan oleh tim yang dipimpin oleh Dr Elisabeth Hill (University of London), Dr Hayley Leonard (Goldsmiths) dan British Autism Study of Infant Siblings (BASIS) yang bermarkas di Birkbeck University of London.
Analisis statistik menunjukkan bahwa kelompok yang berisiko ASD kurang memiliki keterampilan motorik yang baik dan terdeteksi sejak usia 7 bulan. Keterampilan motorik dapat berupa kemampuan motorik kasar seperti kemampuan untuk menahan kepala, berguling, belajar berjalan, serta keterampilan motorik halus seperti menggenggam dan memainkan benda-benda kecil. Rendahnya kemampuan motorik ini masih terlihat hingga 24 bulan penilaian.
"Meskipun bayi yang berisiko ASD belum tentu didiagnosis ASD, penelitian menunjukkan bahwa rendahnya perkembangan motorik bisa memiliki dampak negatif pada kemampuan bahasa serta perkembangan sosial dan kognitif dari waktu ke waktu. Rendahnya perkembangan motorik dapat berdampak pada perkembangan keterampilan sosial, prestasi sekolah dan performa jangka panjang," kata Dr Hayley Leonard, salah seorang peneliti.
Peneliti memeriksa bayi dengan kakak yang didiagnosa memiliki ASD. Hubungan saudara selama ini diketahui berisiko tinggi terkena gangguan autis. Para peneliti mengamati kemampuan bayi pada usia 7, 14 dan 24 bulan.
Hasil dua kelompok bayi yang berpartisipasi dalam penelitian itu adalah 54 bayi yang didiagnosis berisiko ASD berdasarkan diagnosis saudaranya, serta 50 bayi berisiko rendah tanpa diagnosis berdasarkan saudara. Bayi-bayi tersebut kemudian dievaluasi berbagai kemampuan motoriknya dan laporan orangtuanya yang juga ikut didokumentasikan.
Demikian temuan penelitian yang disajikan dalam Konferensi Perkembangan Anak British Psychological Society di Newcastle seperti dirilis dari ScienceDaily.
Penelitian ini dilakukan oleh tim yang dipimpin oleh Dr Elisabeth Hill (University of London), Dr Hayley Leonard (Goldsmiths) dan British Autism Study of Infant Siblings (BASIS) yang bermarkas di Birkbeck University of London.
Analisis statistik menunjukkan bahwa kelompok yang berisiko ASD kurang memiliki keterampilan motorik yang baik dan terdeteksi sejak usia 7 bulan. Keterampilan motorik dapat berupa kemampuan motorik kasar seperti kemampuan untuk menahan kepala, berguling, belajar berjalan, serta keterampilan motorik halus seperti menggenggam dan memainkan benda-benda kecil. Rendahnya kemampuan motorik ini masih terlihat hingga 24 bulan penilaian.
"Meskipun bayi yang berisiko ASD belum tentu didiagnosis ASD, penelitian menunjukkan bahwa rendahnya perkembangan motorik bisa memiliki dampak negatif pada kemampuan bahasa serta perkembangan sosial dan kognitif dari waktu ke waktu. Rendahnya perkembangan motorik dapat berdampak pada perkembangan keterampilan sosial, prestasi sekolah dan performa jangka panjang," kata Dr Hayley Leonard, salah seorang peneliti.
Peneliti memeriksa bayi dengan kakak yang didiagnosa memiliki ASD. Hubungan saudara selama ini diketahui berisiko tinggi terkena gangguan autis. Para peneliti mengamati kemampuan bayi pada usia 7, 14 dan 24 bulan.
Hasil dua kelompok bayi yang berpartisipasi dalam penelitian itu adalah 54 bayi yang didiagnosis berisiko ASD berdasarkan diagnosis saudaranya, serta 50 bayi berisiko rendah tanpa diagnosis berdasarkan saudara. Bayi-bayi tersebut kemudian dievaluasi berbagai kemampuan motoriknya dan laporan orangtuanya yang juga ikut didokumentasikan.
Langganan:
Postingan (Atom)