Perbedaan Tuna Grahita dan
Autis
Hati-hati
memberikan layanan pendidikan terhadap anak-anak yang sulit berkomunikasi.
Keliru pendekatan dan terapi sangat berisiko menghambat perkembangan
intelegensia anak.
Selama
ini, anak yang sulit berkomunikasi dan menahan emosi cenderung dicap
tunagrahita. Itu karena kurangnya
pemahaman utuh tentang apa yang disebut anak-anak berkebutuhan khusus.
“Bisa jadi, anak yang bergejala demikian
tergolong autisme. Antara autisme dan tunagrahita terdapat perbedaan mendasar
sehingga perlakuan yang diberikan pun harus berbeda,” ujar Mudjito, Direktur
Pendidikan Luar Biasa Depdiknas di sela-sela seminar “Memahami dan Mencari
Solusi Kesulitan Belajar pada Anak Autisme” di Depok, Jawa Barat, Sabtu (26/2).
Menurut Mudjito, autisme ialah anak yang
mengalami gangguan berkomunikasi dan berinteraksi sosial serta mengalami
gangguan sensoris, pola bermain, dan emosi. Penyebabnya karena antarjaringan
dan fungsi otak tidak sinkron. Ada yang maju pesat, sedangkan yang
lainnya biasa-biasa saja. Survei menunjukkan, anak-anak autisme lahir dari
ibu-ibu kalangan ekonomi menengah ke atas. Ketika dikandung, asupan gizi ke
ibunya tak seimbang.
Adapun tunagrahita adalah anak yang mengalami
hambatan dan keterbelakangan mental, jauh di bawah rata- rata. Gejalanya tak
hanya sulit berkomunikasi, tetapi juga sulit mengerjakan tugas-tugas akademik.
Ini karena perkembangan otak dan fungsi sarafnya tidak sempurna. Anak-anak
seperti ini lahir dari ibu kalangan menengah ke bawah. Ketika dikandung, asupan
gizi dan zat antibodi ke ibunya tidak mencukupi.
“Sepintas, anak-anak autis dan tunagrahita
memang sama-sama sulit berkomunikasi. Tetapi, dalam perkembangannya, pada
situasi tertentu anak-anak autis bisa lebih cerdas membahasakan sesuatu,
melebihi anak-anak normal seusianya,” tambah Mudjito.
Dalam seminar yang menampilkan drg Sri Utami
Soedarsono (Direktur Pelita Hati, Pusat Pendidikan untuk Anak Berkebutuhan
Khusus) serta Ery Soekresno Psi (konsultan anak berkebutuhan khusus) tersebut,
terungkap bahwa istilah autisme berasal dari kata autos yang berarti diri
sendiri dan isme yang berarti aliran. Autisme berarti suatu paham yang tertarik
hanya pada dunianya sendiri.
Penyebab autis sangat kompleks, tak lepas dari
faktor genetika dan lingkungan sosial. Awal Februari lalu, para ilmuwan yang
bertemu pada “Autism Summit” di California, Amerika Serikat (AS), sepakat bahwa
gejala autisme disebabkan oleh interaksi sejumlah gen dengan faktor-faktor
lingkungan yang belum teridentifikasi.
Mengutip International Herald Tribune (10/2),
Mudjito menguraikan, ditemukan sedikitnya dua indikasi autisme pada bayi baru
lahir. Pertama, zat putih pada otak-yang berisi serat-serat penghubung neuron
di wilayah terpisah dalam otak-berkembang hingga 9 bulan, kemudian berhenti.
Pada usia 2 tahun, zat putih ini ditemui secara berlebihan di lobes bagin
depan, cerebellum, dan wilayah asosiasi di mana terjadi pemrosesan tingkat
tinggi.
Kedua, lingkaran kepala bayi baru lahir lebih
kecil daripada rata-rata lingkaran kepala bayi baru lahir pada umumnya. Pada
usia 1-2 bulan, tiba-tiba otaknya tumbuh dengan pesat. Hal serupa terjadi pada
usia 6 bulan-2 tahun. Pertumbuhan ini lalu menurun pada usia 2-4 tahun. Ukuran
otak anak autis berusia 5 tahun lebih kurang sama dengan ukuran otak anak
normal berusia 13 tahun.
Beberapa teori lain juga mengungkapkan,
autisme juga dapat disebabkan oleh virus seperti rubella, toxo, herpes, jamur,
nutrisi buruk, perdarahan, dan keracunan makanan saat hamil. Hal itu menghambat
pertumbuhan sel otak pada bayi sehingga fungsi otak pada bayi yang dikandung
terganggu, terutama fungsi pemahaman, komunikasi, dan interaksi.
Terkait dengan nutrisi, Mudjito menunjuk pola
hidup pada masyarakat kota turut mendukung potensi lahirnya anak
autis. Misalnya, mengonsumsi makanan dan minuman tanpa pengendalian mutu,
termasuk makanan cepat saji. Bisa juga karena sayur dan buah yang dikonsumsi
mengandung zat pestisida.
Tak pelak, prevalensi (peluang terjadinya)
autisme sangat pesat. Tahun 1980-an, di AS, dari hanya 4-5 anak yang autis per
10.000 kelahiran naik menjadi 15-20 per 10.000 kelahiran pada tahun 1990-an.
Tahun 2000-an, sudah mencapai 60 per 10.000 kelahiran.
Belum ada data tentang prevalensi autisme
di Indonesia. Namun, mengingat pola hidup kurang sehat di negara maju pun
sudah merambah masyarakat kota-kota besar di Indonesia, fenomenanya
diyakini mirip AS. “Di sekolah- sekolah luar yang berada
di kota besar, tidak sulit menemukan anak autis. Di pedalaman, hampir
tidak ditemukan,” papar Mudjito.
Ia menghargai maraknya inisiatif lembaga
sosial di tiap kota yang membuka layanan pendidikan khusus bagi
autisme. Apalagi pola pendekatannya cenderung menyeluruh, termasuk aspek medis.
Hanyalah satu dari delapan jenis kelainan
gejala khusus yang menjadi sasaran layanan pendidikan khusus, yang kini
dikembangkan pemerintah dan masyarakat. Jenis-jenis kelainan lainnya mencakup
tunanetra (gangguan penglihatan), tunadaksa (kelainan pada alat gerak/tulang,
sendi, dan otot), tunagrahita (keterbelakangan mental), dan tunalaras
(bertingkah laku aneh).
Badan Pusat Statistik mencatat, saat ini
sekitar 1,5 juta anak di Indonesia yang mengalami kelainan seperti
itu. Namun, karena terbatasnya sarana pendidikan luar biasa, baru sekitar
50.000 anak yang mengenyam pendidikan. Sesuai Deklarasi Salamanca 1994 dan UU
Sistem Pendidikan Nasional, anak berkelainan khusus harus mendapatkan
pendidikan setara dengan anak-anak lainnya.
Oleh karena itu, pemerintah menggalakkan model
pendidikan inklusi, di mana sekolah umum bisa memberikan layanan pendidikan
terhadap anak berkebutuhan khusus, terpadu dengan siswa pada umumnya.
Sayangnya, pengadaan guru khusus untuk pendidikan layanan khusus masih sulit
dipenuhi. Tahun ini, dari 75.000 kuota pengangkatan pegawai negeri sipil untuk
guru, hanya 500 guru sekualifikasi itu yang terangkat. Padahal, secara nasional
masih dibutuhkan 1.500. Jika
secara totalitas anak berkebutuhan khusus saja sulit terlayani, apalagi anak
autis, yang selama ini cenderung dicap tunagrahita. (nasrullahnara) sumber:
kompas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar